Catatan tertulis secara
akurat mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada beberapa
petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan itupun samar. Namun
catatan para orang leluhur orang Bali sangat berarti bagi kehidupan masa
sekarang dalam rangka mencermati keberadaan pura-pura di pulau Bali yang
banyaknya ribuan. Pura Pucak Mangu sudah ada sejak zaman budaya megalitikum
berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup
besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan
tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.
I Gusti Agung Putu pun
menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih
kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu
bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang. Puncak Gunung Mangu ini memang
sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang
pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk
disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil
hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat
diubah menjadi awal kesuksesan.
Dalam peta Pulau Bali
nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak
begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama
Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam
Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah
secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri
Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst.
Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I
Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I
Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung
Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah
Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini
terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak
Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut
gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan
menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci
di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan
menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di
Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I
Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang
dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak
Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Di Pucak Mangu ini
terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa
pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah
Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari
batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu
Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba
kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli
memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali
berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan
bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada
prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. Dari cerita keluarga
Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini
menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke
sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju
suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan
pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar
oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta
mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad
XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan
pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar
Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih
Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana
tempat Lingga. Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih
Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan
sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi,
atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun
Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun
Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali
menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. Sampai tahun 1896
saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura
Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu
ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978
terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada
tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
Letak
Geografis
Pura Pucak Mangu
terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar yang beriklim normal,
curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan temperature rata-rata 24,2 derajat
celcius. Kelemababan rata-rata 92,5 %, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar
dengan penyinaran 65%. Untuk pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan,
angka-angka klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari
berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. Pemilihan lokasi pura, pemukiman
pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda dengan nalar sain
dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan berbentuk arsitektur, pemakaian
bahan dan pertimbangan orientasi, dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi
juga sirkulasi dan sirkulasi dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada
angka-angka basement geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang
alam dari lokasi terpilih. Potensi Pura Pucak Mangu. Adapun potensi yang
dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :
a. Struktur Bangunan
Pura Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat
di Bali yang didirikan sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi
yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu
seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya didasarkan pada
konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu jaba sisi ( halaman
luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan ( halaman dalam ) dengan
struktur bangunan khas Bali. Palebahan pura yang paling timur adalah sthana Ida
Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana
di bawahnya terdapat batu berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran
paling besar. Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.
Selanjutnya palebahan di sebelah baratnya berupa
Meru Tumpang Sebelas sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan
ini sedikit terpisah dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di
daratan. Palebahan ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci
dengan pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate Bang.
Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Sangkur dan
sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. Palinggih yang lain adalah jajaran
kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung,
Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan Saluang, Gedong beratap pane, lima buah
gedong lainnya, sejumlah balai yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit,
Bale Papelik, Bale Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan
keempat berada di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem
Purwa.
b. Adat-istiadat
Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun.
Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu
maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan
upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin
di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu
Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan
pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok
tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan biasanya diiringi dengan
tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris gede, wayang lemah.
c. Potensi Flora
Pura Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan
hutan lindung yang kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak
di kawasan puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut.
Kesuburan dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora
yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun hidupnya.
Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur lintasan setapak
dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai berikut seprti anggrek, talas
sembung, tedted, paku jukut (sayur), buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan
berbagai jenis tumbuhan jalar dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi
termasuk tanaman kopi, cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.
Potensi
Fauna
Pura Pucak Mangu juga
melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang
diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk,
becica sesapi, lubak, bukal dan semal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar